Sebuah sekolah tanpa pagar, tanpa seragam, tempat semua orang belajar dengan gembira dan merdeka. Begitulah bayangan besar kami tentang sebuah cita-cita bernama sekolah desa. Keinginan dan harapan ini tidak muncul begitu saja di Perpusjlegongan.

Butuh hampir satu dekade perjalanan bagi Perpusjlegongan untuk memberanikan diri bercerita tentang cita-cita ini. Sebuah cita-cita besar yang terus kami jaga nyala apinya.

Sekolah Desa sesungguhnya sederhana belaka. Ia adalah rebranding dari semua kegiatan berbasis kelas dan pelatihan di Perpusjlegongan. Lewat cara ini, kami ingin meneguhkan komitmen sebagai sebuah taman baca sekaligus komunitas pendidikan di pedesaan. Tidak sekadar lewat program pinjam dan baca buku tetapi juga lewat program pendidikan berkelanjutan yang lebih serius.

Kami membayangkan konsep ini sejak 2023 lalu, ketika Perpusjlegongan hanya punya kegiatan rutin berupa les bahasa Inggris 2 kali sebulan. Kami membayangkan andai kata setiap akhir pekan ada kegiatan rutin di sini. Entah apapun itu nantinya.

Ide muncul di 2024. Kami menambah 2 kelas baru yakni kelas sinau bareng dan latihan tari Jawa klasik. Konsep kegiatan berbiaya murah juga mulai kami coba di tahun ini. Setiap anak kami kenakan biaya 15 ribu per bulan. Tentu saja bukan untuk menutup semua kebutuhan operasional. Ini sekadar sebuah upaya kecil untuk mengajarkan tanggung jawab pada masyarakat sasaran.

Anak-anak Jlegongan adalah sasaran kegiatan ini. Sepanjang tahun 2024, kami terus berupaya mencari titik temu untuk membuka diri bagi pendaftar dari luar dusun. Beberapa uji coba terus kami jalankan agar kelas-kelas ini bisa menyenangkan, tanpa ada jarak pemisah antara anak-anak dari dalam dan luar Jlegongan.

“Apakah ini nantinya akan seperti PAUD?” begitulah pertanyaan yang sering kami dapatkan tentang cita-cita ini. Jawabannya adalah tidak.

Bayangan paling ideal tentang sekolah desa ala Perpusjlegongan adalah kegiatan tematik-pedagogis tiap Sabtu dan Minggu bagi anak-anak dan remaja. Sebagai selingan, kami juga membayangkan adanya aneka lokakarya sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Misalnya lokakarya khusus untuk meningkatkan keterampilan pemuda atau ibu-ibu pelaku UMKM.

Sekolah desa juga tidak pernah membayangkan suatu gedung atau bangunan khusus. Biarkan mimpi ini dihampar di ruang baca 7×4 meter di Perpusjlegongan. Bercampur dengan riuh rendah orang lewat, suara ayam tetangga, dan semilir angin sore. Malahan jika perlu kelas-kelasnya dilakukan di area persawahan.

Jikalau semuanya lancar, mimpi ini baru akan kami rilis di bulan Februari 2025, bertepatan dengan ulang tahun ke-10 Perpusjlegongan. Semua hal masih kami siapkan sebaik kami mampu. Konsep baru, fasilitas pendukung, hingga ke skema pendanaan.

Mimpi ini bisa saja berhasil, bisa saja harus mengalami penyesuaian di berbagai aspeknya. Apapun itu, kami sekadar meyakini bahwa sekolah tidak melulu berarti belajar di gedung sekolah berpagar, dari pagi hingga sore, dengan seragam. Kami sekadar percaya jika sekolah bisa dijalankan di manapun, termasuk di dusun, desa, atau kampung.

Kami percaya, semua orang adalah guru bagi sesamanya dan setiap sudut alam raya adalah sekolah terbaik bagi anak-anak manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *